Merasa menjadi paling realistis, kita
kerap membunuh impian anak-anak. Merasa telah banyak makan asam garam
kehidupan, kita sering membonsai cita-cita buah hati kita. “Itu
mustahil, Nak”, “Cita-citamu itu terlalu tinggi”, “Impianmu itu takkan
pernah tercapai”, dan kalimat senada, mungkin pernah kita ucapkan.
Kita mungkin lupa, bahwa
komentar-komentar negatif kita tentang cita-cita anak mencipta bekas
yang sulit diobati. Kita mungkin tidak sadar, kata-kata meremehkan yang
keluar dari lisan kita telah membuat jutaan sel otaknya mati. Jadilah
anak tumbuh dalam suasana pesimis. Merasa rendah diri. Tidak pantas
melakukan pekerjaan-pekerjaan besar.
Barangkali kita juga tidak ingat, bahwa
impian-impian besar anak-anak kita bisa menjadi nyata ketika kita
memupuk mimpi-mimpi itu. Mungkin bukan semuanya, tapi salah satunya.
Sewaktu kecil, Vettel mengidolakan “Trio
Michael”; Michael Jordan, Michael Jackson, dan Michael Schumacher. Ia
ingin menjadi ketiganya; pebasket dunia, penyanyi legendaris, dan
pembalap hebat. Ayah Vettel, Norbert, dan ibunya, Heike, tidak ingin
mematikan mimpi itu dengan menertawakannya. Mereka memberi ruang agar
mimpi Vettel tumbuh dalam jiwanya; menjadi cita-cita, menggerakkan
langkah demi langkah untuk mengubahnya menjadi nyata. Meskipun mereka
tahu postur Vettel tidak mendukung untuk basket, suaranya juga tidak
cukup menjadi modal sebagai penyanyi. Belakangan, Vettel juga
menyadarinya. Dari sana impiannya lebih fokus: menjadi pembalap nomor
satu!
Bukan sekedar membiarkan impian anaknya
tidak mati, Norbert memupuk impian itu agar tumbuh besar. Diantara hal
yang paling diingat Vettel kelak adalah hadiah gokar Bambini 60 cc yang
diterimanya dari sang ayah saat usianya baru tiga tahun. Vettel bukan
hanya mendapat ruang. Ia mendapat dukungan. Ia memperoleh motivasi.
Keyakinannya menancap kuat. “Aku pasti bisa!”
Impian yang diucapkan anak kecil lebih
dari dua dasawarsa sebelumnya itu menjadi kenyataan seminggu lalu. 14
November 2010, tepat pada usia 23 tahun 134 hari, Sebastian Vettel
menjadi juara dunia F1 termuda sepanjang sejarah setelah memenangi
balapan di Abu Dhabi. Kini ia juga dijuluki sebagai “Baby Schumi” atau
“Michael Schumacher Baru”. Subhaanallah, betapa persis dengan impiannya.
Dunia Islam dewasa ini juga memiliki
tokoh besar yang berangkat dari impian di masa kecil. Namanya Ahmad
Zewail. Seorang doktor yang menjadi salah satu ilmuwan besar dunia. Pada
tahun 1999, DR. Ahmad Zewail meraih penghargaan Nobel bidang kimia.
Memaparkan prestasinya, Saudi Aramco World menulis executive summary
begini: “Born in the Nile Delta, Ahmed Zewail became the first scientist
to record molecules while they were undergoing chemical reactions that
take place in a few millions of a billionth of a second. This
established the field of femthochemistry and earned him the 1999 Nobel
Prize in Chemistry. In November, he was appointed one of the first three
us Science Envoys to Middle East.”
Satu hal yang perlu dicatat, sang ibu
menumbuhkan dan memupuk impian Ahmad Zewail sejak dini. Yang paling
berkesan, sejak masih anak-anak pintu kamar Zewail diberi papan
bertuliskan: Kamar DR. Ahmad Zewail. Subhaanallah, betapa impian itu
kini menjadi nyata.
Anak-anak kita mungkin memiliki impian
yang setara dengan Sebastian Vettel atau Ahmad Zewail. Atau bahkan
melebihi itu semua. Berbahagialah. Itu hal yang baik. Semestinya ada.
Sangat tidak tepat jika kita justru mewariskan kerdil obsesi yang
menjangkiti banyak orang dewasa. Bukankah manusia hanya akan
mengusahakan hal-hal yang dianggap mungkin oleh pikirannya? Maka impian
tinggi buah hati kita akan meninggikan kualitasnya, insya Allah.
“Sesungguhnya,” kata M. Lili Nur Aulia dalam Mimpi-mimpi Besar, “mimpi
dan obsesi seseorang yang besar, indikator ia akan menjadi orang yang
besar.”
Selama impian itu tidak salah dalam
standar keimanan, kita hanya perlu memupuknya. Memotivasinya,
mendukungnya, dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mencoba.
“Ketika kita memberi anak kesempatan untuk mencoba,” M. Fauzil Adhim
meyakinkan dalam Saat Berharga untuk Anak Kita, “hasilnya sangat
menakjubkan.” Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin]
Disalin dari situs PP Salimah.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan berikan komentar anti, yaa ukhti :)